Selamat datang di seafarerslocker.blogspot.com

another cerita

0 comments

Somewhere in Bogor, 1992
Senin pagi yang panas menerpa kota Bogor. Terdengar tawa canda riang
sekelompok anak muda yang turun dari bis kota. Mereka terlihat begitu
riang padahal untuk mencapai sekolahnya mereka masih harus berjalan
kurang lebih 15 menit lagi. Namun, beberapa langkah di belakang
kelompok tersebut melangkah seorang pemuda sendirian. Ia tidak
bergabung dengan rekan-rekannya. Kedua tangannya diselipkan di kantung
celananya, memainkan koin-koin logam yang selau berbunyi di setiap
langkahnya. Ia tertunduk, melangkah sambil memandangi jalanan yang
sedikit lembab. Tidak diperhatikannya kemilau embun pagi di helai-
helai rerumputan, atau kicau burung yang dengan riang menanyakan
kabarnya. Ia mendesah dan mengangkat wajahnya.
Kelompok teman-temannya
telah cukup jauh di depannya. Gelak tawa mereka masih terdengar di
telinganya. Mendadak ia terhenti. Sebuah pikiran nakal terlintas di
benaknya, dan ia tersenyum. Tak lama kemudian ia berbalik dan
melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuannya. Beberapa ratus
meter sebelum persimpangan yang menghubungkan jalan sekolah dan dunia
luar sang pemuda kembali berhenti. Ia memalingkan wajahnya sejenak ke
dunia yang akan ditinggalkannya seakan mengucapkan selamat berpisah
dan melanjutkan langkahnya.
Terminal bus baranang siang tidak nampak begitu padat hari itu.
Beberapa gelintir manusia nampak hilir mudik, sibuk dengan berbagai
kegiatannya. Sang pemuda memicingkan matanya. Mengapa matahari begitu
terik hari ini, pikirnya. Ia berjalan agak cepat menuju halte bus dan
dengan setengah memaksa berusaha naik ke dalam bus kota yang telah
penuh sesak. Berjejalan di antara penumpang dan hembusan asap rokok,
ia akhirnya menghempaskan dirinya di atas kap mesin di dekat supir
sambil matanya menatap berkeliling memperhatikan suasana sekitarnya.
Seorang kakek tua dengan kemeja hitam yang lusuh lengkap dengan kopiah
bututnya tengah tertidur lelap. Mulutnya setengah terbuka, sementara
disebelahnya seorang ibu muda tengah berusaha mendiamkan bayinya yang
terus menangis karena panas yang melekap. Sang pemuda menyeka
keningnya dari keringat yang mengalir turun.
Bus kota mulai melaju. Berjalan mengikuti trayek yang telah
ditentukan. Sang pemuda tertunduk, memejamkan matanya dan terlelap
dalam kesendiriannya.
Jakarta. Kota tujuan dari bus yang ditumpangi seorang pemuda
berpakaian seragam sebuah smu yang cukup terkenal di kota hujan kini
telah berada di ambang mata. Sang pemuda terbangun matanya menatap
kosong. Untuk beberapa saat ia tidak tahu sedang berada dimana. Namun,
sejenak kemudian ia sadar dan teringat akan tujuannya. Sebuah rumah
kecil di daerah Kelapa Gading, tempat dimana ia melarikan diri bila
merasa hampa. Tempat dimana ia terbiasa untuk mentransmutasikan emosi
jiwa menjadi suatu karya. Tempat dimana ia merasa diterima sebagai
dirinya sendiri. Tempat dimana ia tidak dibenci hanya karena ia
berbeda. Tempat dimana perbedaan kultur, ras, dan agama bukanlah suatu
hal yang perlu dipersoalkan. Sebuah Sanctuary bagi manusia yang
terbuang dari kalangannya.
Terdengar suara kondektur menandakan bahwa bus akan memasuki terminal.
Terminal. Pikir sang pemuda. Sebuah tujuan akhir, yang akhirnya justru
hanya menjadi tempat singgah. Just like me. Seulas senyum sinis
terlukis di bibirnya yang tipis. Ia melompat turun dari bus yang
tengah melaju pelan. Tujuan dihatinya telah ditetapkan dan ia kini
semakin mendekatinya.
Angkutan yang membawa sang pemuda berhenti tempat di depan jalan kecil
pintu rumah itu. Sebuah rumah berwarna putih berpagar hitam. Biasanya
dari luar tempatnya berdiri, dapat terdengar suara riang penuh canda
yang kadang diselingi dengan bunyi hentakan alat musik elektrik. Namun
hari ini semuanya begitu sunyi. Senyap, tanpa ada tanda-tanda
kehidupan. Hening. Sang pemuda mengulurkan tangan untuk membuka pagar
besi tersebut, namun beberapa senti sebelum jemarinya sempat
menyentuh, ia berhenti. Ada ragu di hatinya. Sejenak ia berfikir,
seakan mengulur waktu sebelum ia melakukan sebuah kesalahan yang lebih
fatal. Akan tetapi, kebutuhan untuk menyalurkan rasa itu lebih kuat
daripada nalarnya dan ia melangkah memasuki pekarangan rumah putih
berpagar hitam.
Hening. Sang pemuda melangkah di atas lantai teras dan mengetuk pintu
kayu yang memisahkan penghuninya dari dunia luar. Beberapa detik
berlalu tanpa jawaban. Kembali tangannya terulur mengetuk dan ia
menunggu. Tanpa disadarinya dua pasang mata mengawasi dari balik
pepohonan pagar yang tumbuh cukup lebat di pekarangan rumah. Beberapa
pasang mata yang menatap nanar penuh nafsu. Sang pemuda tak sempat
berteriak saat beberapa tangan meringkusnya. Ia berusaha melawan namun
sebuah pukulan keras dikepalanya membuatnya kehilangan kesadaran dan
semuanya menjadi gelap.
Rintihan. Ya, ada suara rintihan wanita. Sang pemuda mulai tersadar
dari kegelapan. Ada sakit yang teramat di bagian pelipisnya dan
sedikit rasa basah yang lengket pada rambutnya. Ada rintihan. Suara
wanita yang merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia membuka matanya.
Ruangan itu gelap. Cahaya matahari hanya dapat meremangi kamar dari
balik gorden tebal yang menutupi kaca jendela. Ada suara tawa lelaki.
No, a couple of them. Ia memeriksa sekelilingnya. Hening. Sepertinya
ia ditinggalkan sendiri sementara para penyerangnya sibuk dengan diri
masing-masing.
Perlahan sang pemuda bangkit berdiri. Ada noda merah di pakaian
seragam putihnya. Blood, pikirnya. It's my blood. Ada sesuatu yang
gawat tengah berlangsung di rumah ini. Saat itu tidak ada terpikir
olehnya bahwa ia harus berlindung. Nalurinya mengatakan ada wanita
yang tengah disakiti dan membutuhkan pertolongan. Dan ia akan menjawab
panggilan itu. Perlahan-lahan sang pemuda melangkah, mengikuti arah
suara wanita yang kini memelas memohon belas kasihan. Permohonan yang
ditanggapi dengan gelak tawa dan ancaman bengis. Tiga orang. Pikir
sang pemuda. Paling tidak ada tiga orang. Perlahan disibakannya pintu
kamar tidur utama sumber dari suara-suara itu. Dan sejenak ia terpana.
Tiga orang pria dengan pakaian yang awut-awutan tengah tertawa-tawa
sementara di lantai teronggok sesosok tubuh dengan busana yang
compang-camping. Sosok tubuh dilantai itu jelas tubuh wanita. Seorang
wanita yang menangis dan berusaha menutupi ketelanjangannya. Sosok
yang amat dikenalnya. Ketiga lelaki itu tertawa melihat sang wanita
tanpa daya berusaha melindungi dirinya, kehormatannya. Mereka kemudian
berunding sambil tetap bercanda siapa yang akan mendapatkan giliran
pertama menikmati tubuh iindah itu.
Si pemuda merasakan darahnya bagai mendidih. Bergolak panas
mengalirkan amarah ke sekujur tubuhnya. Memacu kelenjar-kelenjar
penghasil adrenalin bekerja menghasilkan tenaga baru di dirinya. Ingin
rasanya ia menerjang masuk dan menghajar ketiga lelaki bangsat
tersebut, namun nalarnya mengatakan bahwa ia justru akan membahayakan
jiwa orang yang ingin dilindunginya. Orang yang harus diselamatkan
jiwa dan kehormatannya. Have to come out with some distraction
pikirnya. Akhirnya ia melangkah menjauh dari kamar tersebut.
Keuntungan ada dipihaknya bahwa kondisi rumah itu cukup gelap. Dan ia
membuat sedikit keributan.
Sebuah kepala melongok dari pintu kamar tidur yang terbuka mencoba
memastikan apa yang membuat suara tersebut. Dan saat mata di kepala
tersebut terhenti pada pintu kamar yang terbuka, pintu kamar dimana
sang pemuda tadi terkulai layu tak berdaya, ekspresi di wajah lelaki
itu dipenuhi rasa kaget dan takut. Sejenak kepala itu menghilang dan
beberapa saat kemudian dua orang lelaki muncul dari kamar. Salah satu
diantaranya memegang belati. Sepucuk belati yang biasa digunakan oleh
tentara dalam perang. A commando blade. Si pemuda mengintip dari
persembunyiannya. Ia tidak takut menghadapi mereka. Ia tahu bahwa ia
mungkin akan menghadapi kematiannya saat itu, tapi ia tidak peduli.
Mereka orang-orang yang terlatih. Matanya mengawasi kedua orang
tersebut berjalan perlahan mencari sumber suara yang mengusik
kesenangan mereka. Terlatih untuk membunuh. Saat kedua orang lelaki
itu melewati tempat persembunyiannya, sang pemuda melemparkan bola
karet yang telah disiapkan ke arah yang berlawanan dari dirinya. Kedua
lelaki itu terhenyak. Dengan isyarat tubuh, salah seorang dari mereka,
lelaki yang bersenjatakan belati, bergerak ke arah suara, memeriksa.
Good, they're separated. Suara rintihan di kamar tidur yang terdengar
sayup-sayup semakin mengusik amarahnya. Have to act fast. Or it'll be
too late. Perlahan sang pemuda keluar dari persembunyiannya. Mangsanya
telah ditentukan. Mangsa yang lengah. Dalam kegelapan dan kesunyian
sang pemburu mengintai mangsanya.
Sebuah pukulan karate di bagian leher dengan telak merubuhkan tubuh
tegap lelaki itu. Ia jatuh tanpa suara, kecuali suara crack yang
menandakan keretakan tengkorak. Sang pemburu tersenyum puas. Two more
to go. Ia beranjak menuju mangsa berikutnya.
Diluar dugaannya, ternyata lelaki tegap berpisau itu kembali lebih
cepat dan mereka berdua sempat terkejut saat berhadapan untuk beberapa
saat. Mangsa kali ini lebih terlatih dan dengan cepat tersadar.
Lengannya mengayun menebaskan senjata ke arah perut sang pemburu yang
terbuka. Ia mengelak. Melompat ke belakang. Keduanya terdiam. Saling
menatap. Mencoba mengantisipasi gerakan lawan. Namun, suara-suara
erangan di kamar tidur itu mengganggu konsentrasinya dan sang pemburu
menjadi lengah. Ia tak sempat menghindar ketika serangan kedua datang
dan semburan cairan merah terpancar dari perutnya. Sang pemburu
terhuyung. Goyah sudah keseimbangannya. Mangsa yang seharusnya diburu
kini berubah posisi. Ada hawa kematian yang terpancar dari bayangan
musuhnya. I won't last long. Have to make it quick. And deadly. Sang
pemburu kembali terhuyung. Sebelah tanganya mendekap luka untuk
menghentikan pendarahan. Mencoba menipu musuhnya. Kali ini ia
berhasil. Saat serangan itu datang ia telah siap. Sebuah kejutan di
selangkangan memaksa mangsanya untuk berhenti yang dilanjutan dengan
serangan mematikan ke arah dagu. Ada semburan merah dari mulut
mangsanya. Semburan yang semakin mebasahi pakaian si pemburu yang
telah basah. Kemarahan dan kebencian semakin terpancar di wajah dan
sorot mata sang pemburu. Tidak dipedulikannya tatapan memohon ampunan
dari mangsanya. Dalam serangkaian gerak indah yang mematikan terdengar
suara crack yang kedua. Suara yang menandakan kehidupan telah
berakhir. Suara yang menandakan datangnya kelumpuhan total bagi siapa
pun yang terkena. Suara yang menandakan patahnya tulang belakang
mahluk yang bernama manusia.
Suara rintihan itu kini berubah menjadi isak tangis tertahan. Sang
pemburu yang terluka melangkah perlahan memasuki ruangan. Belati tajam
terhunus di tangannya. Adegan yang terlihat dimatanya menambah beban
amarah dan rasa benci yang kian merasuki otaknya. Menghilangkan
nalarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya terayun dan sekelebat
terlihat pantulan cahaya dari mata belati yang dilemparkannya sebelum
senjata itu menghilang, tenggelam di kepala mangsa terakhirnya. Jasad
itu rubuh menimpa sosok yang tengah merintih dibawahnya. Rubuh tak
bernyawa. Si pemuda melangkah dan membantu menyingkirkan mayat itu
dari atas tubuh telanjang yang tengah gemetar ketakutan. Ada ketakutan
terpancar di bola mata yang indah itu. Ada teror yang mengusik wajah
ayu. Diraihnya tubuh itu dan dirangkulnya. Membisikan kata-kata yang
memberikan rasa aman. Dan sang wanita menangis dalam pelukannya.
Hening... Tidak seperti biasanya. Kali ini keheningan itu terasa
begitu menakutkan. Where the hell am I? Putih. Segala sesuatunya
berwarna putih menyilaukan. Is this heaven or is it hell? Gumaman dan
celoteh suara-suara yang tak jelas menari di telingaku. Can't move.
Kaku. Bisu. Kegelapan kembali melanda.
Perih. Itulah perasaan pertama yang membuktikan bahwa aku masih hidup.
Ada rasa perih di lambung kiriku. Perlahan tanganku merayap mencoba
meraba tempat rasa itu berasal. Bebal. Ada perban yang membebat
perutku, dan rasa basah serta lengket yang sempat tersentuh oleh
jemariku sebelum aku benar-benar terjaga. Ruangan itu gelap dan aku
berada diatas sebuah ranjang yang bersih. Hospital? Pikirku. Apakah
aku berada di rumah sakit? When? How? Where? Aku tak tahu. Hal
terakhir yang kuingat adalah kutarik Venus ke dalam dekapanku. Setelah
itu semuanya gelap seakan ada sebuah lubang di dalam ingatanku.
Venus. Ya, my venus. Ada dimanakah dia sekarang? Bagaimanakah
keadaannya? Move... Aku berusaha bangkit, namun gerakan itu membuat
tubuh secara tak sengaja menyentuhnya. Aku berpaling. Venus. She is
here. Rambut panjangnya yang hitam tergerai menutupi wajah yang ayu.
Mata indah itu terkatup rapat dalam kedamaian nikmat Ilahi yang kita
namakan tidur. Ku elus rambutnya, Wajahnya. Dan aku berpikir apakah
kejadian tadi itu benar-benar nyata, or apakah semua itu cuma mimpi.
Ia mendesah. Indah sekali terdengar di telingaku. Suara desahan itu
bagaikan instrumen nada surgawi yang memberikan keyakinan. Meyakinkan
bahwa aku masih seorang manusia, walaupun sedikit berbeda. Genggaman
jemari lentiknya di tanganku terasa semakin erat dan aku tak kuasa
untuk melepaskannya. Aku tak mampu menghentikan rasa haru yang merebak
di dalam hatiku, dan tak terasa airmataku mengalir turun.
Pagi menjelang. Sinarnya masuk melalui jendela, menusuk-nusuk kelopak
mataku, memaksaku untuk terjaga. Sekilas mataku melirik dan kutemui
tempat itu kosong. Semakin diriku bertanya apakah semua ini cuma mimpi
adanya? Kutekan tombol merah yang ada disamping tempat tidurku.
Beberapa saat kemudian seseorang datang. Seorang malaikat berwajah
pualam dalam seragam dinasnya. Dengan agak segan aku bertanya tentang
kejadian semalam. Sang malaikat tersenyum. Hanya tersenyum.
Pertanyaanku dibalasnya dengan serangkaian pertanyaan dalam bahasa
yang tidak kumengerti dan aku terdiam. Aku tetap terpaku dalam
kebisuan itu. Segala sesuatunya terasa begitu asing dan aku mulai
merasa terperangkap. Namun tubuhku menolak bekerjasama. Kedua kakiku
terasa begitu kelu. Aku terperangkap dalam diriku sendiri. Is this the
price? Pikirku. Apa yang telah terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang
tak terjawab dan kulewati hari itu dalam kekosongan.
Malam menjelang. Sinar-sinar sang surya yang terakhir menghias langit
dalam semburat lembayung senja dan kemudian berangsur-angsur pudar.
Kupalingkan wajahku dari kemegahannya dalam kebencian. Dan kulihat ia
kembali berdiri disana. Venus. Samar-samar kulihat sosoknya melayang
mendekatiku sebelum pengaruh obat yang dipaksakan ke dalam
kerongkonganku menelan diriku dalam kegelapan.
Tiga hari berlalu. Tiga hari dalam kebencian, Tiga hari dalam
kepedihan. Sejak kemarin, aku telah mendapatkan sebuah mainan baru.
Sebuah mainan yang akan menemaniku untuk beberapa waktu lamanya.
Sebuah kursi roda. Luka yang mengakibatkan aku harus kehilangan fungsi
kedua kakiku. Sebuah harga yang teramat mahal. Namun, semua itu akan
dapat kulalui dengan tenang seandainya keberadaan dewi-ku benar nyata
adanya. Tiga hari lamanya ia selalu datang. Sosok itu. Wajah itu.
Kehadirannya menimbulkan rasa damai dan sekaligus pertanyaan yang tak
kunjung terjawab. Dan kulalui hari-hariku dalam kesunyian...
Satu minggu telah berlalu. Aku telah menguasai seni bermain dengan
sahabat baruku. Ada sedikit rasa senang yang menguak. Paling tidak
kini aku tak lagi terkurung dan tergantung pada kehadiran orang lain.
Kami tengah bermain. Berputar putar mengelilingi ruangan tempat
jasadku terpenjara saat mereka muncul. Empat orang pria berseragam
coklat hadir mengusik kesenanganku. Salah seorang dari mereka
menghampiriku. Menghujaniku dengan serangkaian pertanyaan yang tidak
kumengerti. Aku tetap dalam keheninganku. Biarlah sorot mataku yang
menjawab semua pertanyaan mereka. Aku berpaling. Kembali ke dalam
dunia kecilku. Kembali bersama dengan sahabatku. Berdua bermain dalam
kunkungan jasad manusia yang lemah ini.
Hari demi hari berlalu. Luka yang menghantui diriku telah mengering.
Meninggalkan bekas yang tak akan pernah terhapus dalam sejarah
hidupku. Terdengar suara berderit dibelakangku. Suara gerbang besar
yang menghubungkan duniaku dengan dunia luar. Seorang wanita berambut
emas datang diikuti oleh beberapa malaikat dengan seragam putih-
putihnya. Ia menghampiriku, memeriksa diriku. Kubiarkan ia
melakukannya. Kutatap bola matanya yang biru dalam-dalam, tetapi
mulutku terkunci. Dan kulalui hari hariku dalam kebisuan.
Ruangan itu penuh dengan kepala-kepala yang berambut pendek diatas
badan-badan tegap terbungkus warna hijau. Aku terdiam di tengah-tengah
ruangan bersama sahabatku. Ada beberapa wajah yang kukenal, namun tak
kulihat dirinya. Venus, where are you? Batinku. Tak kudengarkan
celotehan para jagal dalam seragam hitamnya. Tak kupedulikan suara
ketukan palu yang terus-menerus mendera telingaku. Mereka semua
berbicara dalam dialek yang tak kumengerti dan aku tak peduli. Yang
kuinginkan hanya satu. Aku ingin bertemu dengan Venus-ku.
Entah berapa lama waktu yang terbuang dalam monolog yang dimainkan
teater keadilan dihadapanku. Tapi aku tak peduli. Jiwaku melayang jauh
melintasi batas angan. Menggapai keabadian. Kehidupan yang pernah
kukenal telah berakhir. Dan aku terdiam.
Riuh rendah suara memenuhi ruangan itu. Ada cemoohan. Ada ungkapan
syukur. Ada ucapan selamat. Aku tak mengerti. Wajah-wajah keras dalam
selubung hijaunya meninggalkan ruangan tinggallah aku bersama
sahabatku. Sendiri. Menanti dalam kesunyian.
Entah berapa lama aku termenung, sampai kurasakan kehadirannya.
Kehadiran yang menimbulkan rasa hangat di jiwaku saat kurasa tangannya
menyentuh bahuku. Dan aku tahu bahwa ia telah datang. Venus. You're
here at last. Roda-roda kecil berputar membawa jasadku kehadapan
kekasihku. Begitu banyak pertanyaan yang tersimpan. Begitu dalam
hasrat yang terpancar lewat tatapannya. Aku terpana. Wajah ayu itu
tampak lebih kurus. Matanya yang dulu berkilau-kilau penuh harapan,
kini nampak kusam dan kehilangan binarnya. Namun ia masih tersenyum.
Seulas senyum yang menghadirkan harapan baru. Membangkitkan gelora dan
menghadirkan keinginan untuk menyatu kembali dengan dunia. Bibir-bibir
indah itu bergerak dan aku terpesona. Nada-nada indah yang mengalun
dari mulutnya mengantarkanku ke ambang nirwana. Usai sudah penantian
panjang yang kuderita. Hangat kurasakan di pipiku saat kami bersatu.
Ia menangis. Entah mengapa, tapi ia menangis. Aku terdiam tak tahu
harus berbuat apa. Dan kupererat dekapanku.

Pagi menjelang. Dengan agak malas kubuka kedua mataku, dan kulihat
wajahnya yang indah tersenyum mesra. Aku tertunduk malu. Venus, entah
untuk berapa lama aku berada disini dan selama itu pula ia selalu
berada disisiku. Memberiku semangat dan dorongan. Namun, aku tahu ada
bara yang telah padam dalam dirinya. Tatapan mata indah yang dulu
begitu kunantikan. Begitu kurindukan telah padam. Api itu telah redup.
Seakan eksistensinya di dunia ini tergantung sepenuhnya pada sesuatu
yang tidak kumengerti. Namun, bibirku memilih untuk diam tak bertanya.
Ada sesuatu diantara kami yang mengikat. Sesuatu yang menghubungkan
kami dalam keabadian yang mulia. Sesuatu yang kuharap takkan pernah
padam.
Hari ini aku akan menjalani fisioterapiku. Aku telah memutuskan untuk
kembali melangkah diatas kakiku sendiri. Perlahan aku bangkit dan
menggiring tubuh kaku ini ke atas kursi roda yang menerima dengan
penuh rasa ikhlas. Aku tersenyum saat Venus membawaku keluar dari
ruangan yang kini telah kuanggap menjadi milikku. Nada-nada riang dari
suaranya membantu membuatku kembali ceria. Dan untuk pertama kalinya
sejak peristiwa itu aku tertawa. Tertawa lepas yang berasal dari hati.
Hancur sudah kebekuan yang selama ini membatasi kami. Kebekuan yang
kubangun dari benih-benih amarah dan kebencian tergantikan oleh
kehangatan beralaskan karpet merah bertahtakan cinta dan kehangatan.
Meja makan di tengah ruang telah diisi oleh dua sosok setengah baya.
Sosok seorang lelaki dan wanita yang tersenyum melihat kehadiran kami.
Mereka menyapa hangat yang kubalas dengan senyuman dan sedikit canda.
Betapa beruntungnya diriku mendapatkan mereka, sementara aku ditolak
oleh lingkunganku hanya karena aku sedikit berbeda. Tapi biarlah,
semua itu telah berlalu dan kini kumulai hidup baru dengan
kehadirannya disisiku.
Venus, ia dengan setia menunggu setiap detik fisioterapiku, memberiku
semangat, membantuku menghadapi galaunya rasa kecewa yang kadang
melanda sehingga pada akhirnya aku kembali dapat berjalan, walaupun
tertatih-tatih, dengan kakiku sendiri. Kemenanganku hari itu dirayakan
dengan sebuah pesta kecil dan kuucapkan selamat tinggal pada sahabat
setiaku, yang kini harus puas menerima nasibnya teronggok tak berdaya
berselimut debu di salah satu sudut kamarku. Dan aku tersenyum,
menatapnya. Ada binar bahagia terpancar disana. Ada hangat yang
kurasakan merambat pelan ke sekujur tubuhku. Membasahi jiwaku. Ada
pengabdian yang terbaca disana. Dan kulihat bara api yang dulu sirna,
perlahan kembali menyala dalam sorot matanya yang indah.
Beberapa bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Kini aku telah
kembali berada dalam kondisi prima, walaupun kadang rasa sakit itu
masih datang. Sering kali diam-diam kuelus bekas luka yang ada
diperutku, dan berterimakasih kepada-Nya atas semua nikmat yang telah
diberikan kepadaku. A blessing in disguise. Dan aku tersenyum bila
mengingat semuanya. Pendidikanku yang sempat terhenti telah
kulanjutkan kembali. Hidup berjalan seperti semestinya. Kuyakini
diriku bahwa aku akan sanggup menghadapi semua rintangan selama
dirinya bersamaku. Hari-hari yang kami jalani penuh dengan kehangatan.
Dan saat itu aku merasa benar-benar hidup.
Hari itu tiba. 12 Pebruary di tahun 1993. Sebuah hari yang kuyakini
sebagai saat pertama aku menjenguk dunia. Seperti yang biasa
kulakukan, hari itu aku ingin menghilang untuk merenung. Sekedar me-
review langkah-langkahku dalam menjalani hidup ini, namun sepucuk
kertas merah muda yang diselipkan diatas meja kecil di samping
peraduanku, membuat aku mengurungkan niat tersebut. Sepucuk surat
dengan lukisan hati bertahtakan tinta emas, membuatku tersenyum.
Betapa tidak? Belum pernah ada orang yang mengingat hari kelahiranku
dengan cara seperti ini. Kembali kurasakan ada hangat yang mengalir
mengisi relung hati ini. Dan kuterlena dalam hangat buaiannya.
Malam datang menjelang. Istana kecil tempat kuberdiam selama ini
tampak sunyi. Namun, ada kehangatan dibalik dinding-dindingnya. Kusapa
para penjaga yang dengan setia menjalankan tugasnya sebelum kumasuki
pekarangan itu. Dan aku terkejut menyaksikan pemandangan yang
terpampang dihadapan kedua mataku.
Seluruh ruangan dipenuhi oleh cahaya lilin yang menari-nari dalam
keremangannya. Ruangan itu dihiasi oleh segarnya wewangian bunga
mawar. Aku terpana. Tak mampu bergerak. Suasana malam itu begitu indah
untuk dilukiskan dengan kata-kata. Lirih terdengar lagu-lagu cinta
mengalun lembut mengisi suasana. Dan kulihat ia datang menghampiriku.
Venus. Dalam balutan gaun malam hitam yang semakin menambah
keindahannya. Rambut hitam yang sehari-hari dibiarkan tergerai lepas
menutupi lehernya yang jenjang malam ini terangkat menampilkan
keindahan leher dan bahunya. Senyum dari bibir merah itu semakin
membuat kuterpana.
Hati ini berdesir saat ia mengecup kedua pipiku. Mengucapkan selamat
ulang tahun. Jemarinya yang lentik mengapai tanganku membawaku
melangkah ke kamarku. Venus. Aku terdiam tak mampu bicara. Kuikuti
seluruh gerakannya. Kunikmati seluruh gerak bibirnya saat ia berkata.
Kucoba untuk menyelami setiap nada dalam suaranya. Dan saat ia
melangkah ke luar kamarku, aku masih terpersona oleh bayangnya. Venus.
Apakah maksud dari semua ini, pikirku.
Kubersihkan diriku dalam kucuran air hangat dari shower. Kurasakan
seluruh tubuhku memberikan respons. Kesegaran itu muncul kembali. Saat
aku beranjak dari shower untuk mengeringkan tubuh masih tergiang di
telingaku akan ucapan-ucapannya. Dan hatiku berdesir....
Ada getaran asing yang kurasakan membelai seluruh indraku. Dan aku
menikmatinya...
Kukenakan pakaian yang telah disiapkan di ujung tempat tidurku. Sebuah
kemeja putih dari bahan satin dengan paduan celana panjam hitam. Hmm.
Belum pernah aku melihat pakaian ini sebelumnya. Kukenakan sepatu
hitamku, dan kusisir rambutku. Aku tersenyum menatap sosok diriku yang
lain di dunia sana. Sosok yang menggambarkan seorang pemuda yang tidak
dapat dikatakan jelek. Bola mata birunya berkedip dan bibirnya
mengulaskan seuntai senyuman. Ada hasrat yang melanda. Kukedipkan
kedua mataku mencoba untuk membuang semua angan itu. Dan aku melangkah
keluar ke dalam tebaran cahaya lilin.
Venus. Ia tersenyum menatapku. Menarikku ke dalam dekapannya lewat
tatapan. Aku bertanya mengapa? Dan dijawabnya dengan derai tawa
khasnya yang manja. Derai tawa yang dahulu telah membuat diriku
tersihir saat pertama berjumpa dengan dirinya. Dan aku pun tersenyum.
Malam terasa begitu indah. Enggan rasanya bagiku untuk mengakhirinya.
Ditengah cahaya lilin itu kami bercanda. Tertawa. Bercerita tentang
segalanya. Tentang harapan. Tentang kenangan. Tentang kepedihan dan
tentang cinta. Entah berapa lama kami bercanda, dan aku bahkan tak
sadar siapa yang memulainya. Yang kusadari adalah bibir-bibir kami
saling bertemu, lidah kami saling mengait, ingin memuaskan dahaganya.
Dan aku terlena dalam buaian kehangatan malam itu. Ada desahan lirih
di bibirnya saat kukecup leher jenjang itu. Ku hirup dalam-dalam wangi
tubuhnya. Venus. Didekapnya tubuhku erat-erat. Ada permintaan yang
kubaca disana. Ada hasrat yang terpancar diantara spektrum pelangi
yang terpantul dalam bola mata indah itu.
Kutatap matanya yang sayu dengan penuh tanya. Pertanyaan yang
dijawabnya dengan satu kecupan lembut di bibirku. Satu kecupan yang
menjawab semua tanya dan menghapus semua keraguan. Dan aku mengerti...
Aku mengerti apa yang diinginkannya.
Pasir putih dan angin pantai. Pemuda berbaju besi berlari dengan gadis
molek bergaun putih dalam gendongannya. Menelusuri garis buih-buih
yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan terdengar dari
bibir gadis. Kebencian dan kesedihan yang menyatu dalam dirinya dan
membuatnya bisu akan kata-kata sudah sirna. Dekapan kehangatan dan
kemesraan pemuda berbaju besi menyapu awan-awan kelabu itu.Pemuda
berhenti dan meletakkan tubuh gadis di atas pasir. Kepalanya
menunduk dan mengecup mesra bibir gadis.
"Aku mencintaimu. Sekarang, selamanya."
"Tapi aku...."
"Apa adanya."
Gadis molek bergaun putih membiarkan bibir pemuda berbaju besi melumat
bibirnya. Pasir putih dan angin pantai menjadi saksi dua tubuh yang
saling menggapai kecintaan itu. Erangan, desahan, dan rintihan menyatu
dengan debur ombak dan desau angin. Pemuda bercinta dengan si gadis
bagaikan di alam mimpi. Sentuhan demi sentuhan, tekanan demi tekanan.
Gadis merintih memuncakkan kenikmatan. Pemuda tersentak, mengejang dan
terkulai. Matahari yang semakin tenggelam dan langit yang menghitam
tersenyum dan tertawa riang. Tiang api turun dari angkasa, membelah
langit, bergemuruh dan memamerkan eksistensinya.
Gadis molek bergaun putih tersenyum dan terharu. Pemuda berbaju besi
mengecup pipi gadis dan menatap tiang api yang perlahan membuyar.
"Ternyata Kau masih di atas sana....."

Somewhere
in Jakarta, 1995
Tanah itu masih merah. Masih basah. Ciri khas tanah yang baru digali.
Sebuah gundukan tanah merah dengan batu nisannya. Sebuah nisan batu
pualam dengan ukiran sebuah nama disana. Sebuah nama yang akan selalu
terkenang.
Seorang lelaki muda berambut panjang berpakaian hitam-hitam berdiri
terpaku dihadapan nisan itu. Seorang lelaki yang datang dengan penuh
harap hanya untuk menemukan bahwa harapan itu telah sirna. Hancur
bagaikan debu yang tertiup angin lalu.
Venus. Selamat jalan kekasihku. Sang pria berlutut. Sebuah cincin
bermata berlian diselipkannya di antara tanah merah itu. Dan ia
berbalik. Melangkah menuju matahari yang terbenam.
The End
Share this article :
 
Support : manado tv-parabol
Copyright © 2011. Seafarers locker - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger